SEMANGAT BERBAGI SETELAH RAMADAN PERGI

Diposting : 23 Mei 2021
Dilihat : 1738 kali

 

 

Dua kali Ramadan terlampaui sudah dengan suasana yang masih tetap sama. Pemberlakuan protocol kesehatan yang ketat dengan segala “pernak-perniknya” akibat gempuran Covid 19. Ditambah lagi larangan mudik ke kampung halaman sepertinya akan menambah panjang daftar Rindu yang selama ini selalu bisa terobati dengan mudik lebaran setiap tahunnya. Aktifitas ini (mudik) seakan telah menjadi tradisi mendarah daging dan sulit dipisahkan sehingga belum sempurna rasanya jika Puasa Ramadan belum ditutup dengan agenda besar berupa pulang kampung. Sampai kemudian, masing-masing orang akan begitu antusias berbagi pengalaman suka duka sepanjang perjalanan menuju kampung halaman meski permasalahan klasik yang sering dihadapi adalah kemacetan panjang (traffic jam) dan selalu saja berulang. 


Flash back ke tahun 2019, Kementerian Perhubungan memprediksi jumlah kendaraan mudik baik Roda Dua maupun Roda Empat mencapai 10 juta lebih dengan peningkatan sekitar 13,09 persen dari tahun sebelumnya (2018). Sangat mudah ditebak jika momentum tahunan tersebut pada akhirnya mampu memberikan dampak signifikan pada perputaran roda perekonomian Nasional. Betapa tidak, untuk mencukupi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) kendaraan mudik saja mencapai jutaan Kiloliter (KL) belum lagi aneka barang kebutuhan baik yang dikonsumsi saat perjalanan maupun sekedar sebagai buah tangan. Sepenggal cerita di atas rasanya cukup untuk menggambarkan betapa bulan Ramadan selalu “akrab” dengan hiruk pikuk yang semuanya bermuara pada meningkatnya aktivitas konsumsi masyarakat di semua lini. 


Membincangkan (masih) seputar dampak multidimensi Covid 19, yang paling nyata adalah meningkatnya jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) serta melemahnya daya beli masyarakat. Bisa jadi masyarakat yang berada di perkotaan menjadi kelompok paling terdampak jika dibandingkan dengan masyarakat yang ada di daerah pedesaan. Sampai kemudian, banyak yang memutuskan untuk kembali ke kampung halaman selama masa pandemic demi memastikan keberlangsungan hidup, karena di kota tidak ada lagi penopang hidup yang dapat diandalkan. Sumber-sumber penghidupan yang selama ini dapat diandalkan stuck (macet) lantaran terimbas oleh pandemi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kembalinya sebagian kelompok masyarakat ke daerah asal dari perkotaan tempat dimana mereka sebelumnya mengadu nasib, menandai lonjakan jumlah orang kehilangan sumber mata pencaharian. 


Diawal Covid kita melihat betapa interaksi sosial yang terpampang nyata di hadapan kita cukup menyayat hati. Meski tidak sedikit juga yang justru semakin menebalkan rasa kemanusiaan kita. Mulai dari “aksi” berbagi bumbu dapur dan bahan makanan yang disediakan secara percuma (baca: gratis) di depan rumah masing-masing sehingga orang lain dengan bebas dapat mengambil mandiri sesuai kebutuhan. Sampai dengan berbagai aksi solidaritas kemanusiaan yang cukup massif dilakukan banyak komunitas masyarakat baik yang berupa bantuan biaya hidup maupun sembako. Semua bentuk bantuan tersebut terbingkai dalam satu frame yaitu aksi kepedulian untuk membantu  sesama. Sikap peduli dan saling tolong menolong tentu telah mengakar kuat dalam DNA bangsa ini, terlebih lagi Islam mengajarkan pemeluknya untuk selalu memupuk sikap peduli dan menyebar pertolongan kepada orang lain.   


Sebagaimana termaktub dalam Al-Quran : “…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya” (QS. Almaidah : 2).


Memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan pertolongan dapat juga diartikan sebagai bentuk kesyukuran atas semua rahmat, karunia serta nikmat yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada kita. Sedapatnya kita patut bersyukur dengan semua kelebihan itu serta tidak segan untuk membantu mengentaskan sesama dari kubangan kesulitan dan masalah. Sebagian orang mungkin berfikir pada saat memberikan sesuatu kepada orang lain maka secara matematis apa yang dimilikinya akan berkurang. Padahal, jika pemberian itu dilakukan secara ikhlas, tulus dan dilandasi dengan keimanan maka Allah akan melipatgandakan balasan kebaikan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya : 
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Baqoroh (2) : 261).            


Apa yang kita miliki saat ini adalah tidak lebih dari hanya sekedar titipan, yang harus dikelola dengan baik dan sudah tentu harus maslahat baik kepada kita selaku pemegang amanah (titipan) maupun bagi orang lain. Ramadan baru saja berlalu, melalui ibadah puasa tersebut seyogyanya (harus) mampu memperbaiki kesalehan spiritual maupun kesalehan sosial kita. Menyadarkan kembali jika harta benda yang kita miliki hakikatnya adalah tidak lebih dari sekedar titipan Allah SWT yang harus dipertanggungjawabkan dan dikeluarkan hak-haknya. Wallahu musta’an.    


M. Zulkarnain Ashya Hifa 

Ketua Lazismu Ponorogo